Perlu pemahaman yang lebih dalam agar aturan PPDB DKI yang mensyaratkan usia pada jalur zonasi dapat diterima. Ini mirip dengan hadirnya kebijakan PPDB beberapa tahun lalu yang mengarahkan agar jarak rumah calon peserta didik ke sekolah tujuan menjadi dasar seleksi.

Dulu banyak yang bungkam ketika aturan jarak dalam zonasi menjadi dasar seleksi pada PPDB. Padahal jarak rumah bukanlah faktor yang melekat dari seorang calon peserta didik. Apa iya, calon peserta didik yang jaraknya jauh dari sekolah mana saja harus gigit jari tidak bisa sekolah negeri. Lalu harus terima takdir dirinya untuk bersekolah di swasta?

Ada yang bilang agar calon peserta didik tidak mengalami kelelahan bila jarak rumah dan sekolah tidak jauh. Pada waktu pagi masuk sekolah juga dapat mengurai kemacetan. Hal ini dulu jadi pertimbangan mengapa jarak rumah ke sekolah tujuan jadi dasar seleksi PPDB. Walaupun, tidak terlalu berefek juga karena jumlah sekolah swasta lebih banyak dari sekolah negeri. Calon peserta didik yang jaraknya jauh menurut sistem PPDB dan tidak diterima akan mewarnai jalan raya menuju sekolah swasta yang tersebar dimana-mana.

PPDB DKI 2020

Nah, tahun ini PPDB masih menggunakan jarak dalam jalur zonasi menurut ketentuan Kemendikbud. Namun ada yang spesial, PPDB DKI Jakarta ada sedikit perbedaan. Jalur zonasi tetap dijalankan sesuai dengan alur yang ada. Kemudian aturan yang melekat diberi tambahan keterangan.

Jalur zonasi pada PPDB DKI Jakarta 2020 yang dimulai tanggal 25 Juni lalu, menuai polemik bagi orang tua yang anaknya tidak diterima di sekolah tujuan. Menurut mereka, usia yang jadi dasar seleksi pada PPDB DKI Jalur zonasi tahun ini sangat merugikan. Selain membuat anaknya tidak diterima di sekolah tujuan meski nilai anaknya jauh lebih baik ketimbang anak-anak yang saat ini menduduki peringkat 1 atau 2 di sekolah tujuan. Juga dasar seleksi usia menyalahi aturan Kemendikbud yang telah disosialisasikan sebelumnya.

Ada sih orang tua yang katanya demo di depan Balaikota. Tidak banyak, segelintir saja yang mungkin tidak puas dengan kebijakan dari Dinas Pendidikan DKI. Tapi itu hak konstitusional mereka sebagai orang tua yang katanya kecewa dengan aturan PPDB DKI 2020 ini.

Apabila kita telaah lebih jauh. Tidak diterimanya calon peserta didik karena jarak rumah justru lebih menyakitkan. Cuma gara-gara orang tua beli rumah atau kontrak rumah di wilayah yang jauh dari sekolah tujuan, lantas tidak lolos. Ini jauh lebih sakit. Tidak diterima sekolah negeri cuma gara-gara pagar sekolah dan pagar rumah berjauhan. Dan memicu banyak orang berpikir untuk memindahkan anaknya ke Kartu Keluarga orang lain. Malah ada juga yang cuma pindah KK ke wilayah yang dekat sekolah padahal rumahnya masih jauh nun disana.

Dasar seleksi usia sebenarnya bukan hal baru. Orang tua tingkat SD dan SMP yang akan mendaftarkan anaknya ke SMP dan SMA paham dan tahu betul kalau dahulu itu sudah pernah mereka jalani. Ya, mereka pernah jalani dasar seleksi usia sewaktu orang tua mendaftarkan anaknya sekolah di tingkat SD. Usia yang jadi dasar seleksi. Siapa yang lebih tua maka dia yang diterima dibanding yang lebih muda usianya.

Usia digadang menjadi patokan kesiapan belajar seorang anak. Misal saja untuk sekolah SD minimal sudah 7 tahun atau berada di antaranya. Jika seorang anak di usia 12-13 tahun atau usia 15-16 tahun maka seharusnya sudah siap memasuki masa belajar yang lebih tinggi menurut psikologi perkembangan. Kalau ada orang tua yang mendaftarkan anaknya pada saat SD di usia 5-6 tahun maka pada kenaikan jenjang SMP usianya baru 11-12 tahun saja. Tapi itu tidak bisa digeneralisir pada setiap anak. Ada anak-anak yang memang secara usia lebih muda dan mereka sudah siap menerima pelajaran.

Kembali pada aturan jalur zonasi pada PPDB DKI Jakarta 2020 ini. Riuhnya masalah ini disebabkan ada yang tidak terima jika anaknya yang punya nilai wow tapi harus kalah untuk masuk sekolah negeri dengan mereka yang nilainya biasa-biasa saja. Asal sekolah dengan nilai akreditasi tinggi diharapkan mampu meloloskan anaknya, dibanding anak-anak yang berasal dari sekolah biasa-biasa saja.

Padahal kalau dilihat, akan lebih menyakitkan dan perlu dipertanyakan. Saat ada calon peserta didik baru yang berasal dari keluarga miskin harus sekolah di swasta yang harganya selangit, meski otaknya pintar, cuma gara-gara rumah mereka di desa yang jauh dari sekolah sekolah negeri yang adanya di dekat kota. Banyak juga yang jadi korban anak-anak pintar yang menyalahkan orang tua lantaran jarak rumah mereka terlalu jauh dari sekolah impian mereka. Apa iya cuma buat daftar sekolah harus jual rumah dulu? Atau harus tempuh cara tidak jujur untuk bisa dapat sekolah impian?

Belum lagi, di tahun ini kita ketahui bersama bahwa siswa kelas 6 SD, 9 SMP, dan 12 SMA tidak ada ujian nasional. Kalaupun tetap ada hanya ujian sekolah atau diganti menjadi portofolio. Bukan tidak mungkin ada sekolah yang siswanya santai-santai saja karena sudah ada jaminan nilai besar saat lulus nanti.

Perkalian nilai rata-rata akhir yang diperoleh dengan nilai akreditasi sekolah juga tidak jadi jaminan bahwa semuanya murni tanpa rekayasa. Misalkan saja sehari-hari tidak pernah sekolah itu ada perpustakaan, paling buku disimpan di gudang. Tiba-tiba saat datang waktu penilaian akreditasi, disulaplah ruang guru dibelah dua dengan perpustakaan. Unit Kesehatan Sekolah yang belum pernah terlihat sebelumnya, tiba-tiba ada di pojokan menggantikan gudang. Lengkap dengan dokter, alat kesehatan, tempat tidur, obat-obatan, dan dokter cilik.

Yah, silakan para pembaca menilai mana yang lebih baik. Aturan PPDB dengan jarak kah? Atau PPDB di zonasi dengan tambahan usia sebagai dasar seleksi. Masing-masing punya pendukung. Tapi jangan berantem di komentar yah, hehe. Tetap sopan dan mari budayakan literasi.

*) Christian Atanila _ Jakarta